Tulisan ini berdasarkan pengalaman penulis sendiri pada keluarga yang telah didaftarkan dan menjadi anggota BPJS kesehatan sudah sekitar 2-3 tahun. Tulisan ini dideskripsikan sejelas-jelasnya tanpa direkayasa dan semoga menjadi masukan yang bermanfaat bagi kita semua, win-win solution antara rakyat dan pemerintah.
BPJS kesehatan telah digunakan oleh penulis untuk mendafarkan ibu dan 2 adik kandung, dimana ibu kelas I dan 2 adik kelas III. Kala itu belum ada sistem pembayaran per-KK namun ketika membayar harus per nomor identitas masing-masing anggota yang didaftarkan. Kira-kira kala itu, kelas I sekitar 80 ribuan dan kelas 3 sekitar 25 ribuan sehingga total per bulan bayar sekitar 130 ribuan = 1.56juta/tahun. Penulis tetap membayarkan iuran tersebut bahkan sistem bayarnya per 6 bulanan agar tidak terlupa karena memang memiliki harapan tinggi pada fasilitas kesehatan dan jaminan yang diberikan BPJS kesehatan dan hitung-hitung sebagai pengalihan resiko ketika terdapat hal-hal yang tidak diinginkan seputar kesehatan.
Kemudian ada berita BPJS mengalami defisit yang sangat besar karena banyak penerima jaminan yang tidak lagi membayar ketika sudah mendapatkan pertolongan jaminan kesehatan. Kalau yang seperti ini menurut penulis adalah anggota yang wajib diselidiki dan ditagih terus door-to-door karena hanya ingin manisnya saja. BPJS kala itu langsung menaikkan iuran untuk kelas I sekitar 150rb-an dan kelas 3 tetap serta sistem pembayaran dipaksa per-KK langsung. Kala ini penulis sudah mulai curiga dengan sistem gotong-royong yang seperti ini, memaksa rakyat untuk membiayai kesehatan antar warga Indonesia. Penulis tetap mengikuti sistem pemerintah ini dan membayarkan ibu dan 2 adik per tahun kira-kira 2.4juta/tahun. Memasuki tahun-3 ada perubahan kebijakan lagi yaitu kelas 3 naik jadi sekitar 45ribuan dan dalam 6 bulan penulis membayarkan iuran sebesar 1.44juta dan selang beberapa lama ibu sedang sakit lemas dan pusing. Penulis menyarankan untuk ke Faskes I yaitu puskesmas, disana sistem kontrol sangat jelek yaitu tanpa ditensimeter, tanpa dilihat dan langsung keluar obat generik. Ibu penulis merasakan tidak kuat dan meminta untuk dirujuk ke RS terdekat namun tidak boleh karena harus mengikuti prosedur diobati terlebih dahulu dari Faskes I. Ibu menerima dan meminta obatnya pakai umum saja karena sudah tahu kualitas generik paling juga tidak efektif namun sekali lagi puskesmas menolak karena obat sedang kosong. Akhirnya ibu pulang dan menghabiskan obat selama 3 hari dan ternyata tidak berefek sama sekali sehingga ibu datang kembali ke Faskes I puskesmas. Kondisi yang semakin parah membuat ibu meminta tolong dirujuk di RS untuk periksa darah karena memang ada riwayat trombosit rendah. Sekali lagi sama puskesmas tetap tidak diijinkan dan kali ini ibu marah dan bilang anggota kelas I tapi kok perlakuan seperti ini. Pihak puskesmas menjelaskan bahwa kelas itu hanya untuk kelas kamar rawat inap bukan pelayanan dan obat. Serasa kaget mendengarkan informasi itu, ibu langsung telepon penulis dan langsung penulis sarankan untuk memakai umum saja ke RS, disana ibu dicek darah laboratorium dan memang sangat rendah trombosit-nya dan dokter bilang harus inap karena ini rawan pingsan dijalan. Akhirnya ibu rawat inap dan diperbolehkan pulang kalau trombosit sudah mendekati normal sekitar 3 hari. Bagaimanakah sistem di Faskes I apakah sudah layak memperlakukan seperti itu??.
Beberapa poin yang bisa penulis simpulkan tentang BPJS kesehatan ini adalah:
- Sistem penyelenggaraan sangat tidak bagus, dimana anggota yang lama terdaftar dengan yang kalau sakit tiba-tiba mendaftar disamaratakan sehingga potensi membuat kecewa anggota yang akif dan disiplin membayar sangat besar
- Defisit BPJS kesehatan lebih dikarenakan oleh tidak disiplinnya anggota instan terdaftar ketika sakit karena umumnya penyakit kronis dan ketika sembuh dari biaya BPJS mereka langsung tidak membayar iuran lagi
- Kelas di BPJS kesehatan sangat merugikan karena untuk preventif yang dibutuhkan anggota adalah perawatan dan obat sedangkan kelas di BPJS hanya untuk kamar rawat inap sehingga lebih baik anggota ikut saja kelas 3 dan kalau memang pas terdampak dan mengharuskan rawat inap maka upgrade sendiri ke kamar kelas I atau VIP akan menjadi lebih bagus
- Sistem gotong-royong seperti ini dirasakan penulis sangat merugikan kalau tidak diimbangi oleh komitmen semua anggota yang merasakan hasil dari jaminan kesehatan. Penulis menyimpulkan bahwa peran pemerintah yang harusnya menjamin kehidupan rakyat disini terbalik dimana rakyat yang sukarela saling tolong-menolong walaupun nantinya tidak mendapatkan manfaat sama sekali
- Penulis adalah pekerja kantoran, dimana ada 2 asuransi kesehatan yang diberikan yaitu BPJS yang sama kantor tidak dipakai sama sekali dan kedua adalah asuransi swasta yang dipakai kalau berobat. Dari sini sebenarnya bisa disimpulkan berapa banyak dana BPJS yang disumbang dari instansi kantor yang tidak memakainya namun mengapa BPJS selalu defisit, apakah di-korupsi atau memang sistemnya yang masih bobrok??
Melihat sistem BPJS yang seperti itu, penulis memutuskan untuk menghentikan iuran dan mengalihkan ke menabung di reksadana untuk kesehatan dan meng-asuransikan ibu ke swasta yang sangat baik pelayanannya. Selang 2 tahun berikunya tiba-tiba ada chat whatsapp masuk yang menginfokan dari BPJS pusat yang isinya bahwa atas nama ibu....dengan no. kk.....memiliki tunggakan tagihan sebesar 3juta sekian yang harus dibayarkan agar tetap mendapakan fasilitas kesehatan. Melihat ini, penulis merasa senang untuk men-counter mereka dengan menjawab dan bercerita seputar pelayanan kesehatan yang pernah dialami serta kekecewaan mendalam akibat pelayanan buruk tersebut dan memberikan saran "benahi dahulu sistem BPJS baru anda menagih kewajiban anggota".
Bercermin dari peristiwa tersebut, penulis sangat menyesalkan sistem BPJS yang masih belum bisa membuat anggotanya untuk puas merasakan pelayanan karena penulis pribadi dari kantor mendapatkan asuransi swasta yang sangat baik pelayanannya ketika dibutuhkan baik kamar, obat dan perawatannya. Penulis melakukan hitung-hitung jika nabung sendiri dibandingkan BPJS maka lebih baik nabung sendiri karena pelayanan umum di RS sangat jauh lebih baik dibandingkan BPJS terlebih ketika sudah darurat dirasakan karena BPJS kalau ditanya kamar sering kosong (pengalaman penulis sendiri untuk berobat paman) dan harus mengantri kamar sehingga berhari-hari bahkan berminggu-minggu harus sewa kos dulu.
Alternatif lain penulis mencoba mencari konsep gotong royong yang dirasakan sangat baik sistemnya. Penulis bukan agen atau endorse dari platform ini melainkan merasakan sendiri betapa bagusnya sistem tolong menolong antar donatur di platform tersebut yaitu: "
Saling Jaga Kita Bisa Tolong Menolong Sesama Donatur". Begini konsep detailnya:
Sampai artikel ini di-publish yaitu Feb 2020 sudah ada dana sekitar 10M dengan 668ribu anggota aktif termasuk penulis, ibu dan adik yang didaftarkan. Syarat umur pendaftaran ada yaitu 17-59 tahun. Platform KitaBisa ini mirip dengan BAZNAZ, Dompet Dhuafa dan Nurul Hayat yaitu penyalur dana sedekah, wakaf dan zakat mall. Di platform kita bisa melakukan itu semua sekaligus kita juga bisa tertolong nantinya ketidak terdapat hal yang tidak diinginkan.
Konsep yang dipakai adalah gotong royong saling tolong menolong sama dengan BPJS bahkan platform ini ada karena menurut penulis meluruskan sistem yang salah di BPJS.
Iuran yang diwajibkan di platform ini minimal 10ribu, jadi ketika kita menjadi donatur maka uang transferan pertama harus diatas 10 ribu misalnya penulis kemarin awal-awal 20 ribu.
Terdapat 2 kriteria bantuan yang bisa didapatkan donatur yaitu terdampak Covid-19 (masa tunggu dari awal keanggotaan adalah 21 hari) dan penyakit kritis (masa tunggu dari awal keanggotaan adalah 90 hari). Saldo minimum yang harus ada adalah 10ribu dan ketika dibawah itu maka masa menunggu akan di-reset lagi mulai dari 0 hari. Jadi donatur akan sering melihat saldo keanggoaan atau sekaligus menaruh saldo cukup banyak agar aman sewaktu-waktu tersedot untuk bantu sesama donatur terdampak. Konsep ini kalau ditiru oleh BPJS kesehatan maka bagimanakah rakyat Indonesia?? tentu rakyat akan rajin ikut mendaftar dan terus memantau saldo minimum mereka atau jika tidak mereka harus menunggu lagi masa menunggu mendapatkan bantuan. Berbedakan dengan sisem BPJS sekarang?? sangat beda, dimana anggota yang merasakan bisa instan daftar dan mendapatkan manfaat kemudian lari tidak membayar iuran. Jadi penulis mensarankan sistem-lah yang harus dibuat agar rakyat/anggota BPJS bisa aktif secara otomatis.
Bantuan yang bisa diberikan oleh sesama donatur tentunya mereka yang sudah terlewati masa menunggu dan saldo mereka diatas 10 ribu yaitu penyakit kritis sampai 100juta dan positif Covid-19 sampai 5juta. Terdapat beberapa persyaratan yang sangat mudah pengajuannya tinggal klik dengan unggah bukti rekam medis kemudian tim KitaBisa menindaklanjuti dengan konfirmasi ke pihak terkait atau menurunkan personil di anggota perwakilan untuk mengecek kebenaran si donatur terdampak tersebut. Setelah dinyatakan OK maka bantuan lamgsung ditransfer, sungguh mudah bukan.
Sistem pemberian bantuan/donor ke sesama donatur dinilai penulis sangat bagus dan BPJS kesehatan harus meniru ini. Yaitu misalnya ada donatur terdampak posiif Covid-19 mendapatkan bantuan 5juta maka bantuan itu dibantukan dari saldo seluruh anggota, 5.000.000/668.144 anggota=7.48 rupiah/anggota (nominal kecil sekali ya), kemudian jika misalnya ada donatur terdampak penyakit kritis mendapakan bantuan 100.000.000/668.144 anggota = 149.66 rupiah/anggota. Pengalaman penulis sendiri sudah sekitar 3 bulan terdaftar dan diisi saldo 40.000 sampai sekarang masih berkurang 400 rupiah untuk membantu sesama donatur. Sangat bermanfaat untuk pengalihan resiko kan dan juga menoong antar sesama.
Bagaimanakah jika sistem tersebut ditiru oleh BPJS kesehatan?? misalnya Rakyat Indonesia yang terdafar aktif BPJS adalah 80% dari total penduduk, 80% x 250.000.000 penduduk = 200.000.000 anggota, misalnya iuran masing-masing anggota rata-rata per bulan adalah 80.000 maka per tahun 960.000. Misalnya anggota BPJS terdampak sebesar20% maka 20% x 200.000.000 anggota x 10.000.000 biaya pengobatan = 400 trilyun maka dana terpotong masing-masing anggota adalah 200 trilyun/200.000.000 anggota = 1.000.000/anggota per tahun. Maka dengan konsep gotong royong saling tolong menolong maka angggota BPJS akan mempertahankan saldo mereka yaitu misalnya mempertahankan isi 1.200.000 (sehingga per bulan kena 100.000) sehingga ketika tidak memenuhi syarat ya tidak mendapat jaminan kesehatan. Jaminan tadi karena pasti dibayarkan anggota maka fasilitas yang diberikan ya setara asuransi swasta baik pemilihan kamar, obat dan pelayan perawatan. Ini yang diperbaharui adalah sistem dan rakyat akan memilih apakah ikut sistem dengan jaminan yang dirasakan bermanfaat atau tidak dan BPJS tidak lagi door-to-door menagih tunggakan ke anggota karena sisem dibuat transparan dan fasilitas yang bagus.
Referensi: