Trending Topik

Proses Pengambilan Keputusan Multikriteria (Multicriteria Decision Making-MCDM)

Diposting oleh On Monday, October 29, 2018

Ciptomulyono (2010) dalam “pidato prngukuhan untuk jabatan guru besar dalam bidang ilmu pengambilan keputusan multikriteria” memaparkan bahwa pengambilan keputusan bukan selalu memilih yang benar tetapi apa yang diperlukan adalah memastikan hasil keputusan dicapai melalui suatu proses yang transparan. Proses ini berupa serangkaian aktivitas yang menganalisis alternatif solusi keputusan, parameter, serta kendala yang ada dan kemudian memilih “terbaik”. Tidak ada pengambilan keputusan yang benar atau salah, karena waktulah yang akan menentukan kebenaran itu. Tetapi yang lebih penting adalah pilihan yang ditetapkan harus dapat memberikan kepuasan bagi pengambil keputusan sesuai dengan tingkat aspirasi yang diinginkan dan percaya pada hasil proses itu
Tidak ada pemahaman yang definitif, tetapi dapat dikatakan secara singkat bahwa proses pengambilan keputusan adalah proses pemilihan alternatif tindakan yang dipilih dengan proses melalui mekanisme tertentu dalam suatu keterbatasan sumber daya dengan harapan memperoleh solusi keputusan yang terbaik.
Suatu pengambilan keputusan bisa rasional, non-rasional atau irrasional. Keputusan rasional bilamana dasar pengambilan keputusan tersebut didasari pendekatan dan dianalisis secara ilmiah. Dalam konteks pengambilan keputusan yang rasional, model keputusan dikonstruksikan sebagai suatu representasi hubungan-hubungan logis yang mendasari permasalahan keputusan itu kedalam suatu model matematika
Pengambilan keputusan non-rasional didasarkan hanya pada intuisi, perasaan dan emosinya serta pengalaman pengambil keputusan saat melakukan proses keputusan, tanpa memanfaatkan hasil analisis ilmiah. Sehingga acap kali sulit menjelaskan mengapa mereka membuat keputusan seperti itu. Permasalahannya, pengambilan keputusan menjadi sesuatu yang formal dalam organisasi karena keputusan tersebut harus dipertanggung-jawabkan.



Bagi pengambil keputusan yang rasional, mereka menerapkan suatu prosedur sistematis dan scientific dalam mengambil keputusan (Turban et al., 2005). Prosedur itu mengikuti tahapan sebagai berikut: (i) melakukan identifikasi situasi keputusan yang terkait dengan masalah yang akan diselesaikan, (ii) membuat klarifikasi tujuan yang diinginkan oleh pengambil keputusan, (iii) membangkitkan berbagai alternatif untuk mencapai tujuan yang diinginkan, (iv) mendapatkan solusi yang tepat dari model dan melakukan evaluasi berdasarkan kriteria penilaian yang ditetapkan, (v) memilih dan merekomendasikan impelemntasi alternatif solusi keputusan kedalam problem nyata
Penggambaran proses pengambilan keputusan rasional menurut model Simon (Turban et al., 2005) dalam alur pikir yang terdiri dari tiga tahapan utama.

  • Fase Intelligence: pengambil keputusan melakukan proses identifikasi atas semua lingkup masalah yang harus diselesaikan. Tahap ini pengambilan keputusan harus memahami realitas dan mendefinisikan masalah dengan menguji data yang diperoleh.
  • Fase Design: melakukan pemodelan problem yang didefinisikan dengan terlebih dahulu menguraikan elemen keputusan, alternatif variabel keputusan, kriteria evaluasi yang dipilih. Perlu dipaparkan asumsi yang menyederhanakan realitas dan diformulasikan semua hubungan elemennya. Model kemudian di-validasi serta berdasarkan kriteria yang ditetapkan untuk melakukan evaluasi terhadap alternatif keputusan yang akan dipilihnya. Penentuan solusi merupakan proses mendesain dan mengembangkan alternatif keputusan, menentukan sejumlah tindakan yang akan diambil sekaligus penetapan konsekuensi atas pilihan dan tindakan yang diambil sesuai dengan problem yang sudah didefinisikan. Pada tahap ini juga menetapkan nilai dan bobot yang diberikan kepada setiap alternatif.
  • Fase Pemilihan: merupakan tahapan pemilihan terhadap solusi yang dihasilkan dari model. Bilamana solusi bisa diterima pada fase terakhir ini lalu implementasi solusi keputusan pada dunia nyata.
Pengambilan keputusan sebagai domain bidang keilmuan memiliki aspek ontologi, epistomologi maupun axiologi memiliki kaidah pendekatan ilmiah tertentu yang sistematis, spesifik, teratur dan terarah. Dari ranah paradigma pengambilan keputusan, pendekatan yang banyak dikaji di masa sekarang adalah pengambilan keputusan rasional yaitu bentuk pengambilan keputusan yang diperhitungkan secara matematis atau statistik, ini bukan berarti pengambilan keputusan “non-rasional” tidak penting.
Menyadari bahwa dalam proses pengambilan keputusan informasi sebagai dasar pembuatan keputusan tidak sempurna, adanya kendala waktu, biaya serta keterbatasan pengambil keputusan yang rasional untuk mengerti dan memahami masalah, maka keputusan diarahkan pada konsep keputusan dengan rasional terbatas (bounded rationality). Rasionalitas terbatas ini berupa proses penyederhanaan model pengambil keputusan tanpa melibatkan seluruh masalah (Suryadi dan Ramdhani, 1998). Sehingga model keputusan yang dihasilkan dari pendekatan ini hanya berupa “satisficing model”. Salah satu representasi model dan teknik keputusan yang mendasarkan pada konsep rasional terbatas ini adalah metode pengambil keputusan multikriteria.
Metode MCDA adalah teknik yang digunakan untuk analisa sistem keputusan yang memiliki banyak kriteria/variabel. Ciptomulyono (2010) memaparkan bahwa metode MCDA adalah suatu metode proses pemilihan alternatif untuk mendapatkan solusi optimal dari beberapa alternatif keputusan dengan memperhitungkan kriteria atau objektif yang lebih dari satu yang berada dalam situasi yang bertentangan (conficting). Paradigma ini berbeda dengan cara pandang tradisional problem pencarian solusi optimal suatu keputusan. Problem keputusan yang kompleks dimodelkan hanya sebagai problem sederhana dari model optimasi keputusan berobjektif tunggal, sehingga terjadi simplikasi realitas problem yang berlebihan dan akhirnya solusi keputusan gagal mencari solusi permasalahan yang sebenarnya. Artinya pendekatan model optimasi pendekatan tunggal gagal mengakomodasikan “heterogenitas”, dinamika dan kondisi kriteria yang mengalami konflik tersebut.
Dalam situasi keputusan objektif tunggal proses evaluasi mendapatkan solusi optimal dari satu set alternatif solusi dapat dilakukan dengan relatif mudah, karena solusi keputusan adalah solusi yang unik ditinjau dari satu objektif saja, artinya keputusan tersebut tanpa menemui suatu situasi “trade off” dengan pencapaian objektif lain (Ciptomulyono, 2010). Menurut Hwang dan Yoon (1981) didalam pidato pengukuhan untuk jabatan guru besar Ciptomulyono (2010) taksonomi keilmuan pengambilan keputusan multikriteria terbagi menjadi 2 pendekatan yang berbeda yaitu multiple objective decision making (MODM) dan multiple attribute decision making (MADM). Masing-masing memiliki karakter, atribut dan sifat serta aplikasi penyelesaian ragam persoalan keputusan yang berbeda seperti berikut.

 
Pendekatan MODM berkenaan dengan penyelesaian model optimasi yang memiliki objektif majemuk dan objektifnya bersifat saling mengalami konflik. Keberadaan adanya solusi optimal untuk objektif yang majemuk ini akan menjadi pembeda dengan pendekatan optimasi klasik objektif tunggal semacam linear programming. Proses penyelesaian model multiobjektif ini secara teknis memerlukan informasi mengenai preferensi subjektif dari pengambil keputusan (dalam bentuk pembobotan) sehingga persoalan pembobotan dan preferensi-nya menjadi peranan kunci dalam pengembangan dan riset penyelesaian. Contoh metode pendekatan MODM adalah global criteria method, compromise programming, goal programming dan masih banyak lainnya (Ciptomulyono, 2010)
Pendekatan MADM adalah teknik penyelesaian multikriteria untuk persoalan pemilihan atau seleksi, tidak diperlukan pendekatan program matematik klasik. Variabel keputusan dipertimbangkan sebagai variabel diskrit yang terbatas. Pendekatan ini hanya ditujukan sebagai alat bantu keputusan supaya bisa mempelajari dan memahami problem yang dihadapi, menentukan prioritas, values, objektif melalui eksplorasi komponen keputusan itu sehingga mempermudah bagi pengambil keputusan nantinya untuk mengidentifikasi mana pilihan terbaik yang disukai. Karena mendasarkan pada faktor preferensi pengambil keputusan, maka subjektifitas selalu terkait khususnya dalam pemilihan serta pemberian bobot kriteria yang dipergunakan dalam proses keputusan, juga judgment subjektif dalam menurunkan kriteria yang dipertimbangkan dalam proses keputusan yang jelas. Contoh metode pendekatan MADM adalah AHP, ANP, ELECTREE, PROMTHEE, TOPSIS dan masih banyak lagi lainnya (Ciptomulyono, 2010). Berikut dipaparkan beberapa metode MADM yang umum digunakan oleh peneliti dalam pengambilan keputusan

Kutip Artikel ini Sebagai Referensi (Citation):
Feriyanto, Y.E. (2018). Proses Pengambilan Keputusan Multikriteria (Multicriteria Decision Making-MCDM). www.caesarvery.com. Surabaya

Referensi:
[1] Ciptomulyono, Udisubakti. (2010). Paradigma Pengambilan Keputusan Multikriteria dalam Perspektif Pengembangan Projek dan Industri yang Berwawasan Lingkungan. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Bidang Ilmu Pengambilan Keputusan Multikriteria, Jurusan Teknik Industri, ITS-Surabaya
[2] Feriyanto, Y.E. (2018). Aplikasi Multicriteria Decision Analysis untuk Pemilihan Proses dan Operasi Koagulasi-Flokulasi Terbaik di Pre-Treatment Water System PLTU. Thesis Magister Manajemen Teknologi ITS-Surabaya
[2] Turban, E. J.E. Aronson., dan T.P Liang. (2005). Decision Support Systems and Intelligent Systems. Pearson Education
[3] Suryadi, K., dan M.A Ramdhani. (1998). Sistem Pendukung Keputusan. PT Remaja Rosdakarya, Bandung
[4] Hwang, C.L dan Yoon, K. (1981). Multiple Attribute Decision Making : Methods and Applications. New York, Springer-Verlag

Jar Test Proses dan Operasi Koagulasi-Flokulasi

Diposting oleh On Wednesday, October 24, 2018

Penelitian skala laboratorium diperlukan untuk analisa empiris permasalahan yang ada di lapangan yang menggunakan proses dan operasi yang berubah-ubah sehingga membutuhkan beberapa percobaan untuk mengetahui pilihan kombinasi dari beberapa proses dan operasi yang menjadi variabel dari kondisi di lapangan. Teknik yang sudah umum digunakan adalah jar test yaitu teknik percobaan skala laboratorium menggunakan sampel air umumnya 1 liter atau 2 liter menggunakan automatic paddle motor yang dilakukan secara bersamaan
Gambar 1. Set Jar Test Kit

Pada umumnya terdapat dua tipe jar test berdasarkan volume sampel yang diuji yaitu 1 liter dan 2 liter. Kedua tipe memiliki karakteristik berbeda dan menurut Grevile (1997) keterbatasan tipe jar test volume beaker glass 1 liter adalah:
  • Volume sampel yang kecil akan menambah jarak error yang lebih besar ketika dilakukan pada uji nyata di lapangan
  • Air akan berputar secepat putaran pengaduk sehingga mengurangi keefektifan laju pengadukan
  • Sulit dalam pengamatan waktu pengendapan (settling time)
  • Sangat sedikit endapan yang dihasilkan
Karakteristik tipe jar test volume beaker glass 2 liter adalah :
  • Volume yang besar mengurangi jarak error ketika dilakukan uji nyata di lapangan
  • Kecepatan pengendapan mudah diamati
  • Banyak dihasilkan endapan sehingga mempermudah pengamatan
Rumus perhitungan dosis dan waktu tinggal yang dipakai di jar test adalah: (Grevile, 1997)
  • Larutan (solution) 1% didefinisikan sebagai 1% berat (1% w/w) yang artinya terdapat 1 gram atau 1000 miligram zat terlarut (solute/chemical) di dalam 99 gram zat pelarut (solvent/water) untuk total larutan 100 gram. Jadi jika terdapat pengambilan sampel 1 mL di 1% larutan tersebut maka kandunganmya sebagai berikut :
(1   mL/100 mL) x 1000 mg = 10 mg
  • Jika 10 mg dilarutkan dalam air 1 liter maka didapatkan 10 mg/L setara dengan 10 ppm
  • Menentukan waktu tinggal (residence time) dengan rumusnya :
Td = V/Q
keterangan :  
Td  : detention time (menit)
V    : volume bejana (m3)
Q    : laju alir (m3/menit)
Variabel parameter ini sesuai standar umum manual book PLTU dan studi literatur jurnal penelitian terdahulu seperti Beltran et al. (2009) menggunakan parameter COD, turbidity, pH, conductivity, warna, TSS dan biaya untuk mengukur kualitas air limbah sesudah dilakukan pambubuhan beberapa jenis koagulan.
Boughou et al. (2016) menggunakan parameter TSS, temperatur, pH, turbidity, conductivity, BOD dan COD untuk mengukur keefektifan penggunaan koagulan FeCl3 yang digunakan pada sampel air limbah pemukiman.
Greville (1997) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa kualitas air umpan dipengaruhi oleh alkalinity, pH, turbidity, warna, temperatur, hardness, rasa dan bau. Daud et al. (2015) menggunakan parameter COD, TSS, warna, minyak dan pH untuk mengukur keefektifan koagulasi-flokulasi pada limbah biodiesel.
Berdasarkan beberapa data yang telah dipaparkan diatas, percobaan jar test untuk koagulasi-flokulasi mengacu ke 2 variabel utama yaitu variabel kriteria (parameter kualitas air) serta variabel proses dan operasi. Berikut penjelasan lebih detailnya.
Variabel kriteria adalah parameter terukur hasil jar test yang menunjukkan kualitas air yang dihasilkan sedangkan variabel proses dan operasi adalah variabel yang mempengaruhi kinerja koagulan-koagulan aid.
Proses dan operasi adalah  2 hal yang berbeda, dimana proses adalah terdapat reaksi kimia pengikatan seperti variabel dosis sedangkan operasi adalah lingkungan tempat reaksi bisa lebih efektif seperti waktu tinggal dan putaran pengaduk.

Silakan Downloading International Proceeding Journal Open Acces di https://doi.org/10.1088/1757-899X/1096/1/012102

Kutip Artikel ini sebagai Referensi (Citation):
Feriyanto, Y.E. (2018). Jar Test Proses dan Operasi Koagulasi-Flokulasi, Best Practice Experience in Power Plantwww.caesarvery.com. Surabaya

Referensi :
[2] Feriyanto, Y.E. (2018). Jar Test Proses dam Operasi Koagulasi-Flokulasi, Best Practice Experience in Power Plant. Surabaya
[5] Greville, A. (1997). How to Select a Chemical Coagulant and Flocculant. 22th Annual Seminar, Alberta Water & Wastewater Operators Association. 11-14 March
[6] Beltran, P., Roca, J., Pia, A. Melon, M., dan Ruiz, E. (2009). Application of Multicriteria Decision Analysis to Jar Test Result for Chemicals Selection in the Physical-Chemical Treatment of Textile Wastewater. Hazardous Materials, Vol. 164, pp. 288-295
[7] Boughou, N., Majdy, I., Cherkaoul, E., Khamar, M., dan Nounah, A. (2016). The Physico-Chemical Treatment by Coagulation-Flocculation Releases of Slaughterhouse Wastewater in the City of Rabat (Morocco). Journal of CODEN (USA) : PCHHAX, Vol. 8(19), pp. 93-99
[8] Daud, Z., Awang, H., Latif, A., Nasir, N., Ridzuan dan M., dan Ahmad, Z. (2015). Suspended Solid, Color, COD and Oil and Grease Removal from Biodiesel Wastewater by Coagulation and Flocculation Processes. Proceeding of The World Conference on Technology, Innovation and Entrepreneurship, Procedia Social and Behavioral Sciences, Vol. 195, pp. 2407-2411

Ingin Konsultasi dengan Tim Expert Website, Silakan Hubungi KLIK

Electrochlorination Plant di PLTU

Diposting oleh On Thursday, October 18, 2018

Electrochlorination (EC) plant adalah set peralatan yang digunakan untuk memproduksi zat aktif chlorin. Umumnya menggunakan sistem elektrolisis air laut. Chlorin berperan vital di pengolahan air PLTU karena untuk menghambat perkembangbiakan biota laut di sepanjang perpipaan atau peralatan yang memanfaatkan pendingin air laut.
Keberadaan biota laut mengganggu sistem transfer panas di heat exchanger (condenser) dan menyebabkan abrasi di inner pipe.
Gambar 1. Kerang Menyumbat Inner Tube Condenser
Berdasarkan Gambar 1 tersebut, kerang yang menumpuk di condenser menyebabkan transfer panas berkurang sehingga debit air pendingin harus dinaikkan dan seiring kenaikan tersebut menyebabkan abrasi di inner tube. Dampaknya adalah tube bocor dan harus di plug.
Untuk mencegah perkembangbiakan biota laut (kerang, zebra muzzle dan biota laut lainnya) maka diperlukan EC plant. Berikut urutan prosesnya:
  • Air laut dari CWP atau SWP di filter menggunakan strainer
Gambar 2. Line Feed Electrolyzer + Strainer
Air laut sebelum memasuki EC plant terlebih dahulu disaring di strainer (lingkaran merah) berupa saringan dengan diameter kecil dari material SS umumnya) untuk mencegah padatan terikut ke sistem elektrolisis yang bisa menyebabkan kebuntuan di electrolyzer


Gambar 3. Strainer
  • Rectifier mengubah arus AC menjadi DC
Gambar 4. Rectifier
Rectifier adalah suatu generator yang difungsikan mengubah arus dari AC menjadi DC
  • Electrolyzer Module sebagai tempat proses elektrolisis
Gambar 5. Electrolyzer tipe Shell and Plate Vertical
Gambar 6. Electrolyzer tipe Tube Horizontal (chloropack)
Terdapat bermacam-macam tipe electrolyzer yaitu shell and plate dan tube. Electrolyzer ini sebagai tempat reaksi elektrolisis yang didalamnya terdapat logam katoda-anoda.
  • Hasil elektrolisis berupa NaOCl dan H2 disimpan di tangki yang dilengkapi dengan blower (berfungsi menghembuskan H2 ke atmosfer dengan sistem dilution)
Gambar 7. Tangki Chlorin tipe Profil Tank
Gambar 8. Tangki Chlorin tipe Conical
Sistem penampungan hasil elektrolisis didesain sedemikian rupa sehingga untuk membuang drain garam/padatan yang mengendap. Garam dapat menurunkan tingkat kemurnian produk NaOCl
  • Secara kontinyu diinjeksikan ke intake sea water
Gambar 9. Injeksi Chlorin

Kutip Artikel ini sebagai Referensi (Citation):
Feriyanto, Y.E. (2018). Electrochlorination Plant di PLTU, Best Practice Experience in Power Plantwww.caesarvery.com. Surabaya

Referensi:
[1] Feriyanto, Y.E. (2018). Electrochlorination Plant di PLTU, Best Practice Experience in Power Plant. Surabaya
[3] Feriyanto, Y.E. (2018). Sistem Standard Proses Electrochlorination Plant. Surabaya

Ingin Konsultasi dengan Tim Expert Website, Silakan Hubungi KLIK

Metode MCDA Tipe Technique for Order of Preference by Similarity to Ideal Solution (TOPSIS)

Diposting oleh On Monday, October 15, 2018

TOPSIS dikemukakan oleh Hwang dan Yoon (1981) yang digunakan untuk menentukan solusi ideal positif (Ai+) dan solusi ideal negatif (Ai-). TOPSIS umum digunakan karena kemampuannya yang efektif dalam memberikan keputusan berdasarkan data riil yang ada, namun juga memiliki kelemahan dalam hal pengambilan keputusan yang kriteria-nya kurang pasti. Pemilihan alternatif terbaik adalah data yang memiliki jarak terpendek dari solusi ideal positif dan jarak terjauh dari solusi ideal negatif.
Langkah - langkah dalam perhitungan metode TOPSIS sebagai berikut: (Chang et al, 2015)
  • Menyusun matriks keputusan yang sudah dinormalkan. Nilai penormalan (rij) dihitung sesuai rumus:

  • Menyusun bobot matriks keputusan yang sudah dinormalkan. Nilai bobot normalisasi matriks (vij) dihitung sesuai rumus:

  • Menentukan solusi ideal positif dan negatif

  • Menghitung jarak Euclidean antara solusi ideal positif dan negatif untuk setiap kriteria/alternatif

  • Menghitung relative closeness terhadap solusi ideal positif untuk setiap alternatif

  • Membuat rangking prioritas dengan memilih maksimum CCi+
Penggunaan TOPSIS banyak digunakan oleh peneliti untuk menyempurnakan proses perangkingan metode AHP atau ANP. Pendekatan metode TOPSIS tetap membutuhkan metode AHP/ANP sebagai input bobot dan umumnya aplikasi perhitungan menggunakan metode ini adalah dengan perpaduan antara AHP/ANP-TOPSIS. Lebih detail baca di "MCDM Tipe AHP-ANP".

Silakan Downloading International Proceeding Journal Open Acces di https://doi.org/10.1088/1757-899X/1096/1/012102

Kutip Artikel ini Sebagai Referensi (Citation):
Feriyanto, Y.E. (2018). Metode MCDA Tipe Technique for Order of Preference by Similarity to Ideal Solution (TOPSIS). www.caesarvery.com. Surabaya

Referensi
[1] Feriyanto, Y.E. (2018). Aplikasi Multicriteria Decision Analysis untuk Pemilihan Proses dan Operasi Koagulasi-Flokulasi di Pretreatment Water System PLTU. Thesis Magister Manajemen Teknologi Industri, ITS-Surabaya

Proses Chemical Cleaning di Tube Boiler

Diposting oleh On Wednesday, October 10, 2018

I. PENDAHULUAN
Chemical cleaning dilakukan untuk membersihkan permukaan tube umumnya sisi dalam (inner) dari oli/grease (new tube) dan kerak (existing tube). Selain itu, chemical cleaning juga memberikan lapisan pasif di sepanjang permukaan tube agar tidak terjadi reaksi kimia yang tidak diinginkan. Dalam prosesnya terdapat beberapa tahapan yang harus dilakukan dengan sistem terus-menerus tanpa putus dengan pengendalian berupa pengukuran parameter kualitas air.
Poin-poin khusus dalam proses chemical cleaning ini adalah:
  • Proses dilakukan 24 jam non-stop dari tahap satu ke tahap berikutnya
  • Terdapat pembagian 6 tahap sebagai berikut: (i) filling/flushing awal, (ii) alkali/anti degreaser cleaning & rinsing, (iii) acid inhibitor & acid cleaning, (iv) netralisasi, (v) rinsing after netralisasi, (vi) pasivasi
  • Dilakukan sampling untuk diuji parameter kualitas airnya
II. PROSEDUR PELAKSANAAN
Tahapan-tahapan yang dilakukan selama proses chemical cleaning adalah:
2.1 Tahap 1 - Filling/Flushing Awal
Dilakukan dengan menggunakan raw water produk dari proses SWRO. Tujuan filling/flushing awal adalah sebagai pembasahan tube boiler sebelum dilakukan tahap chemical treatment dan juga untuk membersihkan deposit yang masih menempel di permukaan tube. Telah dilakukan pengukuran parameter kualitas air dan berikut data hasil pengukurannya:
Gambar1. Tahapan Filling/Flushing Awal
BACA JUGA: Macam - Macam Boiler
 
Berdasarkan data tersebut bisa diketahui hal-hal sebagai berikut :
  • Telah dilakukan filling/flushing awal dengan raw water dan pengukuran kualitas air setiap 15 menit untuk parameter turbidity
  • Keberhasilan proses tahap-1 tersebut yaitu jika turbidity di semua titik sampling adalah mendekati sama yang menunjukkan bahwa proses sirkulasi sudah merata di semua bagian wall tube
  • Jika sudah didapatkan nilai turbidity <20 NTU maka bisa lanjut ke tahap 2 yaitu alkali/anti degreaser cleaning
2.2 Tahap 2 - Anti Degreaser/Alkali Cleaning & Rinsing
Dilakukan dengan tujuan membersihkan permukaan wall tube dari oli, gemuk/grease atau pelumasan di tube boiler baru. Setelah tahap alkali cleaning tercapai maka selanjutnya dilakukan rinsing untuk membersihkan tube dari sisa alkali. Parameter yang digunakan untuk menilai adalah pH <7.5 dan conductivity stabil disemua titik sampling.
Gambar 2. Tahapan 2 Anti Degreaser/Alkali Cleaning
Berdasarkan data tersebut bisa diketahui hal-hal sebagai berikut:
  • Tahap anti-degreaser/alkali cleaning dilakukan dengan syarat parameter kualitas air pH <7.5 dan conductivity stabil di semua titik sampling
  • Tahap ini dilakukan 2x untuk memastikan permukaan tube baru terbebas dari grease
  • Setelah dilakukan pemberian chemical anti-degreaser dan hasil kualitas air sesuai persyaratan yang telah disetujui maka selanjutnya adalah melakukan pembersihan line tube dengan raw water (rinsing).
  • Tahap rinsing dilakukan pengukuran kualitas air di semua titik sampling dan dari pengamatan tiap 15 menit diidapatkan data pH <7.5
2.3 Tahap 3 - Acid Inhibitor & Acid Cleaning
Acid inhibitor ditujukan untuk melindungi permukaan tube dari reaksi kimia acid chemical. Proses ini dilakukan dengan menambahkan chemical acid inhibitor dengan konsentrasi 0.7% dan disirkulasikan agar chemical merata diseluruh area wall tube. Parameter terukurnya adalah pH yang diukur setiap 30 menit sekali di setiap titik sampling dan jika nilai pH stabil maka proses dianggap sudah merata di semua titik sampling. Tahap selanjutnya adalah acid cleaning yang ditujukan untuk membersihkan permukaan tube dari gram atau sisa las-lasan yang masih menempel di tube. Acid ditambahkan sebesar 5% dalam bentuk HCl.
Gambar 3. Tahapan 3 - Acid Inhibitor & Acid Cleaning
Berdasarkan data tersebut bisa diketahui hal-hal sebagai berikut:
  • Telah dilakukan pemberian acid inhibitor dan sirkulasi selama 1 jam dan dikontrol nilai pH stabil di seluruh titik sampling dan hasil pH stabil terpenuhi
  • Acid strength dalam bentuk Fe2+ dilakukan pengamatan setiap 30 menit sekali dan dinyatakan telah stabil begitu juga untuk Fe3+
Penampakan visual dari sampel air di tangki sirkulasi didapatkan air keruh dan terdapat endapan dari kelupasan material tube
Gambar 4. Penampakan Visual Sampel Air Sesudah Acid Cleaning
Berdaarkan handbook chemical analysis of industrial water by McCoy (1969) berikut:
Penggunaan acid cleaning yang umu adalah 5-10% HCl, 1% Inhibitor dan 0.1% wetting agent. Kombinasi senyawa ini disirkulasikan selama 10-15 jam dan parameter diukur setiap waktu (15-30 menit sekali) dan ketika konsentrasi acid <2% maka harus di-drain dan diganti. Senyawa acid tidak boleh tinggal >20 jam pada boiler dan harus dilakukan penetralan dan pencucian segera.

Tahap 4 - Netralisasi
Ditujukan untuk menetralkan sisa acid cleaning di permukaan tube boiler sehingga mencegah terjadi reaksi kimia yang tidak diinginkan. Dilakukan dengan menambahkan NaOH dengan konsentrasi 2-4%.
Gambar 5. Tahapan 4-Netralisasi

BACA JUGA: Klasifikasi Nama Tube Boiler PLTU

Berdasarkan data tersebut bisa diketahui hal-hal sebagai berikut:
  • Telah dilakukan netralisasi dan pengukuran di semua titik sampling sampai didapatkan pH stabil >6.5 
Penetralan yang umum digunakan selain NaOH adalah 5% Na2CO3 yang disirkulasikan selama 2 jam [McCoy, 1969].
Tahap 5 - Rinsing After Netralisasi
Dilakukan dengan tujuan membilas permukaan tube agar bebas dari chemical acid dan base. Pembilasan menggunakan demin water dari polisher tank dan parameter kualitas air yang dipersyaratkan adalah pH >6.5 dan conductivity <50 µS/cm (EPRI).
Gambar 6. Tahapan 5-Rinsing After Netralisasi
Berdasarkan data tersebut bisa diketahui hal-hal sebagai berikut:
  • pH dilakukan pengamatan selama 20 menit dan dinyatakan >6.5 (nilai mendekati 6.5) sedangkan conductivity sesuai EPRI <50 µs/cm 
Tahap 6 – Pasivasi
Dilakukan dengan tujuan membentuk lapisan pasif yang artinya tidak memberikan reaksi apapun ketika terlewati fluida, sehingga permukaan tube diharapkan terhindarkan dari reaksi korosi. Proses pasivasi dengan menggunakan 500 ppm hydrazine dan standar kualitas air dijaga pada pH 8.5-9.5.
Gambar 7. Tahapan 6-Pasivasi
Berdasarkan data tersebut bisa diketahui hal-hal sebagai berikut:
  • Berat coupon test sebelum dan sesudah treatment dijaga tidak berkurang besar massa-nya karena acid dimungkinkan menggerus permukaan tube.
  • Penampakan visual coupon test adalah mulus dan terjadi lapisan warna hitam (relative magnetite)


Kutip Artikel ini sebagai Referensi (Citation):
Feriyanto, Y.E. (2018). Proses Chemical Cleaning di Tube Boiler, Best Practice Experience in Power Plantwww.caesarvery.com. Surabaya
Referensi:
[1] Feriyanto, Y.E. (2018). Proses Chemical Cleaning di Tube Boiler, Best Practice Experience in Power Plant. Surabaya
[2] McCoy, J.W. (1969). Chemical Analysis of Indusrial Water. California-US
Ingin Konsultasi dengan Tim Expert Website, Silakan Hubungi KLIK

Metode Analytic Hierarchy Process (AHP) dan Analytic Network Process (ANP)

Diposting oleh On Friday, October 05, 2018

Multi Criteria Decision Analysis (MCDA) atau Multi Criteria Decision Making (MCDM) adalah cabang keilmuan riset operasi yang digunakan untuk menemukan keputusan optimal didalam permasalahan yang kompleks seperti variasi indikator, sasaran objektif dan kriteria (Kumar et al, 2017) sedangkan menurut Beltran et al. (2014), MCDM adalah kesatuan konsep, metode dan teknik yang dikembangkan untuk membantu dalam pengambilan keputusan untuk menyelesaikan keputusan yang kompleks dengan cara sistematik dan terstruktur.
Metode MCDM yang umum dipakai adalah Analytic Hierarchy Process (AHP) dan Analytic Network Process (ANP) yang digagas oleh Thomas L. Saaty (1996). AHP yaitu teori pengukuran dengan perbandingan berpasangan dan didasarkan pada keputusan para ahli untuk menyusun skala prioritas (Saaty, 2008). Dalam menyelesaikan masalah multicriteria, metode AHP digunakan untuk memperoleh prioritas berdasarkan penilaian preferensi pembuat keputusan dengan teknik perbandingan berpasangan (pairwise comparison) yang mewakili kemampuan hakiki manusia untuk menyusun persepsinya secara bertingkat, membandingkan sepasang solusi setara terhadap kriteria yang diberikan (Ciptomulyono, 2008). Struktur permasalahan AHP diberikan dalam bentuk tingkatan (hirarki) dari atas ke bawah dimulai dari tujuan, kriteria, sub-kriteria dan altrenatif.
Tahapan metode AHP bisa digambarkan sesuai flowchart berikut:
Gambar 1. Standar Pembentukan Metode AHP (Saaty, 1996)
Berikut uraian dari flowchart standar pembentukan AHP tersebut:
  • Mendefinisikan permasalahan dan menentukan tujuan/pengetahuan yang ingin dicapai
  • Menyusun struktur hirarki dengan urutan paling atas adalah tujuan yang diharapkan (goal decision), kemudian diikuti kriteria (bisa dilanjutkan ke sub-kriteria) dan level terbawah adalah alternatif
  • Menyusun matriks perbandingan berpasangan (pairwise comparison) untuk setiap kriteria/sub-kriteria dan alternatif yang telah ditentukan. Teknik perbandingan berpasangan menggunakan skala prioritas untuk kriteria terpilih menggunakan Skala Saaty 1-9 berikut:
Tabel 1. Skala Saaty untuk Perbandingan Berpasangan
Matriks untuk elemen aij mendapat nilai x sehingga untuk elemen aji (kebalikannya) mendapat nilai 1/x sehingga bersifat reciprocal
  • Melakukan proses normalisasi yaitu operasi baris dengan membagi nilai matriks aij dengan nilai total matriks dalam satu kolom (n) dan operasi kolom untuk mendapatkan nilai pembobotan (wi)
  • Menghitung eigen value (λ) dan eigen value maximummax)
  • Menguji konsistensinya dengan menggunakan consistency index (CI)
  • Menghitung Consistency Ratio (CR)
Saaty (2008) menetapkan nilai CR ≤ 10% untuk standar data konsistensi bisa diterima dan jika CR >10% maka data tidak konsisten sehingga dilakukan ulang pangambilan data untuk perbandingan berpasangan.
Rumus yang dipakai adalah :

Tabel 2 Random Consistency Index

  • Menyusun rangking prioritas
Rangking prioritas didasarkan pada nilai terbobot (weighted score) tertinggi

Metode pengembangan dari AHP adalah ANP yaitu metode untuk pengambilan keputusan yang mengatasi permasalahan yang antar kriterianya saling keterkaitan dan tidak dapat distrukturkan secara hirarki (Saaty, 1996). Pengembangan metode ini didasarkan karena dalam metode ANP permasalahan tidak bisa distrukturkan kedalam bentuk hirarki dan antar kriteria tidak terdapat hubungan keterkaitan satu sama lain. Keterkaitan pada metode ANP ada 2 jenis yaitu keterkaitan dalam satu set elemen (inner dependence) dan antar elemen yang berbeda (outer dependence). Metode ANP merupakan perluasan dari metode AHP dengan mempertimbangkan ketergantungan antara unsur-unsurnya. Metode ANP memiliki struktur non-linear/jaringan bukan hirarki dan membutuhkan teknik AHP sebagai langkah awal untuk proses di ANP.
Langkah-langkah pembentukan ANP sesuai flowchart berikut:
Gambar 2. Standar Pembentukan Metode ANP (Saaty, 1996)
Uraiannya flowchart standar pembentukan ANP sebagai berikut:
Perhitungan sesuai langkah metode AHP sudah menghasilkan CR ≤10% dan eigenvector hasil observasi dari matriks perbandingan berpasangan menghasilkan bobot untuk setiap kriteria dan hasilnya digunakan untuk menyusun supermatriks
  • Menyusun dan menyelesaikan unweighted supermatriks
Unweighted supermatriks disusun dengan cara memasukkan semua eigenvector yang telah dihitung
Menyusun dan menyelesaikan weighted supermatriks
  • Melakukan perkalian setiap nilai unweighted supermatriks terhadap matriks perbandingan kriteria/sub-kriteria
  • Menyusun dan menyelesaikan limiting supermatriks
Limiting supermatriks diselesaikan dengan cara memangkatkan supermatriks secara terus-menerus sehingga angka di setiap kolom dalam satu baris sama besar
  • Melakukan pembobotan setiap objek
  • Menentukan rangking prioritas
Metode ANP sudah banyak digunakan oleh peneliti dalam membuat keputusan multikriteria yang saling berkaitan seperti yang dilakukan oleh Ciptomulyono et al. (2008) dalam pengukuran kinerja perusahaan yang diantara variabel kriterianya terdapat hubungan saling keterkaitan seperti perspektif financial, persepektif customer, perspektif internal business process, perspektif learning and growth. Metode ANP digunakan untuk penilaian pembobotan beberapa perspektif.
Beltran et al. (2014) menggunakan pendekatan AHP/ANP untuk pemilihan inevstasi proyek pada pembangkit tenaga surya. Terdapat 3 level kriteria yang dipakai yaitu tahap identify and analyze criteria, tahap feasibility study dan tahap project portfolio. Setia level kriteria dilakukan pembobotan menggunakan pendekatan AHP/ANP dan analisa sensitifitas. Konsep perhitungan yaitu jika diterima di level pertama maka lanjut ke level berikutnya dan level terakhir adalah penentuan rangking prioritas.

Silakan Downloading International Proceeding Journal Open Acces di https://doi.org/10.1088/1757-899X/1096/1/012102

Kutip Artikel ini Sebagai Referensi (Citation):
Feriyanto, Y.E. (2018). Metode Analytic Hierarchy Process (AHP) dan Analytic Network Process (ANP)www.caesarvery.com. Surabaya

Referensi:
[1] Feriyanto, Y.E. (2018). Aplikasi Multicriteria Decision Analysis untuk Pemilihan Proses dan Operasi Koagulasi-Flokulasi di Pretreatment Water System PLTU. Thesis-Magister Manajemen Teknologi Industri, ITS-Surabaya